Tuntunan Cara Mejalankan Agama Islam
TUNTUNAN CARA MENJALANKAN AGAMA ISLAM
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, dari tidak ada menjadi ada. Allâh Azza wa Jalla telah memberikan berbagai keperluan hidup manusia di dunia ini. Dia juga memberikan akal dan naluri, yang dengannya -secara global- manusia dapat membedakan mana yang bermanfaat dan yang berbahaya.
Allâh Azza wa Jalla menjadikan manusia dapat mendengar, melihat, berfikir, berbicara, dan berusaha. Sungguh, semua itu sebagai ujian, apakah manusia akan bersyukur kepada Penciptanya ? Beribadah kepada-Nya semata, taat dan tunduk terhadap syari’at-Nya ? Ataukah mengingkari nikmat-Nya dan menentang agama-Nya ?!
Karena sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya semata. Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki dari mereka apa yang dikehendaki majikan terhadap budaknya, yaitu membantunya untuk meraih rizqi dan makanan. Bahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata yang menjamin rizqi seluruh makhluk-Nya. Allâh berfirman menjelaskan hakekat ini dalam al-Qur’ân :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada- Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]
Oleh karena itu sebagai manusia, kita wajib beribadah kepada-Nya, dengan mengikuti agama Islam yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ridhai, karena Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima agama selainnya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh hanyalah Islam. [Ali-‘Imron/3:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali-‘Imran/3: 85]
Bagaimana Cara Menjalankan Agama Islam?
Umat Islam yang menjalankan agama Islam, mereka beribadah hanya kepada Rabb yang haq, yaitu Allâh Azza wa Jalla dengan mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , melaksanakan shalat lima waktu dengan kiblat yang satu, yaitu Ka’bah di kota Mekah, memiliki tujuan yang satu, yaitu meraih ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala . harapan mereka yaitu bisa meraih kebahagiaan sempurna dengan dimasukkan ke surga dan selamat dari neraka. Dan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin agar bersatu di atas kebenaran dan melarang berpecah-belah.
Namun dalam kenyataan hidup ini, kita melihat umat yang berselisih, berpecah-belah, saling membenci dan menjauhi ! Banyak yang fanatik kepada seorang ustadz, kyai, atau syaikh, atau fanatik kepada madzhab, kelompok atau organisasi keagamaan!
Padahal agama Islam telah ada dan telah sempurna sebelum kelahiran atau kemunculan perkara-perkara atau orang-orang yang mereka fanatiki. Tidakkah lebih baik umat kembali ke agama mereka? Kembali ke agama yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia?
Dalam tulisan ini, kami berusaha menyajikan sedikit nasehat bagi kami khususnya dan bagi kaum Muslimin secara umum tentang cara menjalankan agama Islam. Semoga sajian ini bermanfaat!
Sumber Agama Islam
Sumber aqidah (keyakinan) dan hukum agama Islam adalah al-Qur’ân, yang merupakan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan as-Sunnah (al-Hadits), yang merupakan tuntunan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Keduanya merupakan wahyu Allâh Azza wa Jalla kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan seluruh manusia untuk mengikuti kitab suci al-Qur’ân yang telah Dia turunkan dalam firman-Nya :
وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan al-Qur’ân itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat, [al-An’âm/6:155]
Demikian juga telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sumber kedua syari’at Islam dalam seluruh sisi kehidupan beragama. Berpegang terhadap al-Kitab dan as-Sunnah adalah jaminan dari kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman [al-Anfâl/8: 1]
Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini, “Sesungguhnya keimanan itu mengajak kepada ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya.”[1]
Demikian juga Allâh Azza wa Jalla sebutkan di antara sifat orang-orang kafir adalah berpaling dari mentaati Allâh dan Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah, “Ta’atilah Allâh dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang kafir”. [Ali ‘Imrân/3: 32]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa menyelisihi thariqah (jalan; ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kekafiran, dan Allâh Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang bersifat dengannya, walaupun dia mengaku dan menyangka bahwa dia mencintai Allâh Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya, sampai dia mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, penutup seluruh rasul, dan utusan Allâh kepada jin dan manusia”[2]
Dan Sungguh, berpegang kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah merupakan jaminan dari kesesatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: kitab Allâh dan Sunnah rasul-Nya.[3]
Kesempurnaan Islam
Termasuk prinsip-prinsip agama yang wajib diyakinia dalah agama Islam telah disempurnakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Maka tugas manusia adalah mempelajari dan mentaatinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agamamu.. [al-Mâidah/5: 3]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “Ini nikmat Allâh Azza wa Jalla terbesar kepada umat ini, yaitu Allâh menyempurnakan agama mereka untuk mereka. Sehingga mereka tidak membutuhkan agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang Nabi-pun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allâh menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh para Nabi dan (Allâh) mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau beritakan, maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada kesalahan”.[4]
Nabi Telah Menunaikan Amanah
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkewajiban menyampaikan agama, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dengan sebaik-baiknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan Islam dengan sempurna, tanpa dikurangi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat kecuali agama ini telah sempurna. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلاَ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمُ عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya. Dan tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Azza wa Jalla larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya.[5].
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidaklah tersisa sesuatupun yang akan mendekatkan ke sorga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kamu.[6]
Konsekwensi Kesempurnaan Islam
Setelah kita mengetahui kesempurnaan Islam, maka di antara konsekwensinya adalah kita cukup mempelajari agama Islam ini, kemudian mengamalkannya, mendakwahkannya, dan bersabar dalam semua hal di atas. Kita tidak boleh membuat-buat dan menambahkan perkara baru apapun ke dalam agama ini, sebagaimana kita tidak boleh menguranginya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak. [HR. Muslim, no. 1718]
Dan inilah yang dipahami oleh para Ulama kita semenjak dahulu.
Imam Mâlik bin Anas rahimahullah berkata, “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) dalam Islam, dia memandangnya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama), karena Allâh Azza wa Jalla telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (al-Mâidah/5 :3) Oleh karena itu, apa saja yang pada hari itu tidak menjadi agama, pada hari inipun juga tidak menjadi agama”[7].
Memahami Al-Qur’an Dan As-Sunnah Dengan Bimbingan Ulama.
Memahami al-Qur’an dan as-Sunnah harus dengan bimbingan Ulama, karena Ulama adalah pewaris para Nabi. Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Baramngsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak.[8].
Para Ulama yang pertama kali dijadikan rujukan untuk memahami agama adalah para ulama dari generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, karena mereka adalah manusia terbaik dari kalangan umat ini. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in).[9]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau secara mutlak. Itu mengharuskan mendahulukan mereka di dalam seluruh masalah dari masalah-masalah kebaikan”[10].
Para sahabat adalah manusia terbaik karena mereka adalah murid-murid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka lebih memahami al-Qur’an dari generasi-generasi sesudahnya, karena mereka menghadiri turunnya al-Qur’ân, mengetahui sebab-sebab turunnya, dan mereka juga bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat yang sulit mereka fahami.
Al-Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem mereka, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus.
Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa al-Qur’ân, karena ia diturunkan denga bahasa mereka. Dengan demikian mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelah mereka.
Demikian juga para Ulama yang datang setelah tiga generasi utama tersebut, yang mengikuti jejak mereka, karena memang Allâh Azza wa Jalla akan selalu membangkitkan para Ulama setiap zaman. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menjanjikan adanya mujaddid (pembaharu agama) pada setiap seratus tahun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ
Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi: mereka akan menolak tahrif (perobahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan.[11].
Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus; istiqâmah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka.
Menyikapi Perselisihan
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (Ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’/4: 59]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla mengulangi kata kerja (yakni: ta’atilah!) untuk memberitahukan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara otonomi, dengan tanpa membandingkan apa yang beliau perintahkan dengan al-Qur’ân. Bahkan jika beliau memerintahkan, wajib mentaatinya secara mutlak, sama saja apakah yang beliau perintahkan itu ada dalam al-Qur’ân atau tidak ada. Karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya”.[12]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan orang-orang yang beriman agar mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allâh dan Rasul-Nya, jika mereka adalah orang-orang yang beriman. Dan Dia memberitakan kepada mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya. Ini memuat beberapa perkara:
Diantaranya, orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum, dan mereka tidak keluar dari keimanan dengan sebab (perselisihan) itu, jika mereka mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla syaratkan terhadap mereka. Dan tidak ada keraguan bahwa ketetapan sesuatu yang digantungkan dengan syarat, maka sesuatu itu akan hilang dengan sebab ketiadaan syarat.
Firman Allâh Azza wa Jalla ((Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu)) meliputi seluruh yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman dari masalah-masalah agama, yang kecil dan yang besar, yang terang maupun yang samar.
Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla adalah mengembalikan kepada kitab-Nya, mengembalikan kepada Rasul-Nya adalah mengembalikan kepada diri beliau di saat hidup beliau, dan kepada Sunnahnya setelah wafat beliau.
Allâh Azza wa Jalla menjadikan “mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allâh dan RasulNya” termasuk kewajiban dan konsekwensi iman, maka jika itu tidak ada, imanpun hilang.[13]
Oleh karena itu sikap seorang mukmin adalah menerima dengan sepenuh hati. jika telah datang kepadanya ayat dari kitab suci al-Qur’ân, atau hadits shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan pemahaman yang benar, pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.
Semoga sedikit tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Wallahul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tafsir Taisîr Karîmir Rahmân, suratal-Anfâl, ayat ke-1
[2] Tafsir al-Qur’ânil ‘Azhîm, surat Ali ‘Imrân, ayat ke-32
[3] Hadits Shahih Lighairihi. Riwayat Mâlik dan lainnya
[4] Tafsir al-Qur’ânil ‘Azhîm, surat Al-Maidah, ayat: 3
[5] Hadits Shahîh dengan seluruh jalur riwayatnya. riwayat Syâfi’i rahimahullah, al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdadi, dll. Dishahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahîhah, 4/416-417 dan syaikh Ahmad Syâkir rahimahullah dalam Ta’lîq ar-Risâlah, hlm. 93-103. Dinukil dari al-Bid’ah wa Atsaruhâ as-sayyi’ fil Ummah, hlm. 25)
[6] Hadits Shahîh. Lihat penjelasannya dalam ar-Risâlah karya imam Syâfi’i, hlm. 93, ta’liq syaikh Ahmad Syâkir. Dinukil dari ‘Ilmu Ushûlil Bida’, hlm. 19
[7] Kitab al-I’tishâm, 2/64, karya Imam Asy-Syâtibi
[8] HR. Abu Dâwud no:3641, dan ini lafazhnya; Tirmidzi no:3641; Ibnu Mâjah no: 223; Ahmad 4/196; Darimi no: 1/98. Dihasankan Syaikh Salîm al-Hilâli dalam Bahjatun Nâzhirin 2/470, hadits no: 1388
[9] Mutawatir, riwayat Bukhari, dan lainnya
[10] I’lâmul Muwaqqi’în 2/398), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H
[11] HR. Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil; Al-Baihaqi di dalam Sunan Kubra; dll. Dishahihkan oleh Imam Ahmad; dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, hal:77; juga oleh Syeikh Ali bin Hasan di dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah
[12] I’lâmul Muwaqqi’in 2/46), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H
[13] Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in 2/47-48), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/65151-tuntunan-cara-mejalankan-agama-islam.html